Sepekan lalu saya menghadiri sebuah konferensi internasional yang diadakan di salah satu pulau di Malaysia. Konferensi yg dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa asing yang menuntut ilmu di Malaysia dan juga pembicara-pembicara yg didatangkan langsung dari Sydney hingga Washington. Sungguh membuka wawasan saya akan polemik dunia akademik yang ada sekarang ini, acara ini juga dapat melatih otak saya yang hampa ini untuk mengikuti alur pikiran para doktor maupun profesor yang banyak hadir dalam acara tersebut. Satu yang menarik perhatian saya adalah sebuah pidato pembuka dari departemen pendidikan tinggi disini, saya melihat bagaimana disini pendidikan sangat diutamakan, sangat dimanja, layaknya anak bungsu yang jenis kelaminnya berbeda dengan kakak-kakaknya, betul-betul sebuah prioritas negara! mereka sadar bahwa pendidikan ialah dasar utama bagi kemajuan seluruh aspek yg terlibat dalam hidup manusia, dengan meningkatnya taraf pengetahuan sebuah bangsa tidak menutup kemungkinan untuk melahirkan sebuah inovasi yang dapat memudahkan kehidupan manusia yang juga akan berakibat meningkatnya taraf ekonomi, sosial, dll.
Lalu saya bercermin dengan negara tempat dimana saya lahir, Indonesia. Pendidikan yang hanya dianggap sebelah mata oleh pemerintah, diacuhkan seperti anak yang dianggap lahir bukan dari rahim ibunya, dimana guru maupun dosen diludahi harga dirinya bahkan sampai harus meludahi dirinya sendiri demi selembar amplop proyek, ketika orang tanpa pendidikan pun bisa menjadi politikus yang mewakili rakyat-rakyatnya, sungguh menyedihkan. akibatnya sekarang, negara dengan sumber daya alam paling mewah di jagad raya ini harus menjadi boneka tanpa otak mainan negara-negara maju yg bahkan tidak punya cadangan energi bagi dirinya sendiri. minyak, emas, pohon, bumi kita habis dihisap oleh perusahaan-perusahaan asing. seperti lebah yang terus menyedot sari bunga sampai bunga itu terkuyup layu lalu mati.
Ironisnya lagi, kita dengan arogannya emoh untuk mencontoh sisi positif dari negara tetangga kita. dengan lantangnya kita mengirim wakil kita ke negara-negara maju di seluruh belahan dunia dengan biaya yang tak terhitung jumlahnya lalu memaklumi apabila mereka pulang tanpa ilmu namun membawa koper yang penuh dengan tas belanjaan yang harganya selangit. sebuah kisah nyata yang kita sendiri tau namun tak bisa berbuat banyak. selama saya hidup di malaysia alhamdulillah saya blm pernah menerima ancaman atau hinaan karena saya WNI, namun apabila saya pulang ke Indonesia tak terhitung jumlahnya kawan yang berkata "Ko, Malay gelo! bakarlah bakar!", "ganyang Malaysia!", "Reog diklaim Malaysia ya ko? anjing emang negara!", "ikut pukulin anak Malay yg di unpad yuk!". Walau semuanya bernada gurauan namun sadarkah mereka kalau mereka itu telah banyak membuang waktu memikirkan keburukan negara lain yang ujung-ujungnya akan membuka borok-borok negara mereka sendiri. mereka yang berteriak keras reog telah dicuri bahkan lebih sering terlihat memakai baju keluaran topman ketimbang batik, mencibir peterpan namun memuja muse, lebih senang makan fastfood daripada ketoprak! apakah tidak terlihat paradoks? apakah mereka tidak kenal istilah introspeksi? apakah mereka senang menelan ludah mereka sendiri? sedangkan pemerintah Malaysia yg tidak ambil pusing akan cemoohan itu malah mampu menurunkan harga bensin sampai sekitar Rp.3000 dari semenjak kenaikan global harga minyak!
Saling menghormati itu perlu, Kerjasama itu baik, Damai itu indah, percayalah!
Aricko Khena Kaban
who really love Indonesia
20122008|415am